istilah konservasi adalah kawasan tidak
disebutkan karena naskah konstitusi pada umumnya hanya mengatur ketentuan pokok,
sementara ketentuan lebih detail dibuat pada peraturan pelaksana yang lebih
rendah.
Pengembangan kawasan
konservasi di wilayah perairan laut merupakan amanat dari UU 31 Tahun 2004 yang
diubah menjadi UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan UU 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. UU 45/2009 Pasal 7 menyebutkan bahwa dalam
rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan
kawasan konservasi perairan. Sementara
UU 27/2007 Pasal 28 (2) menegaskan bahwa untuk kepentingan konservasi,
sebagian wilayah pesisir dan pulau pulau kecil dapat ditetapkan sebagai kawasan
konservasi.
- Nomenklatur Kawasan Konservasi Laut
Sebelum
dikeluarkannya UU 31/2004 Tentang Perikanan, penamaan yang sering digunakan
adalah Kawasan Konservasi Laut atau disingkat KKL. KKL yang dikembangkan oleh pemerintah daerah
biasa di sebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Ada juga kawasan konservasi yang luasannya
lebih kecil dan berada pada level desa yang disebut Daerah Perlindungan Laut
(DPL).
Sejak
dikeluarkan PP No 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (KSDI), yang merupakan
turunan dari UU 31/2004 tentang Perikanan, nomenklatur resmi yang digunakan
adalah Kawasan Konservasi Perairan yang disingkat KKP. Namun demikian, terdapat istilah lain yang
juga bisa digunakan sebagai nomenklatur kawasan konservasi laut sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) No 17 Tahun 2008 tentang Kawasan
Konservasi Di Wilayah Pesisir & Pulau Pulau Kecil. Berdasarkan Permen ini, kategori kawasan
konservasi laut terdiri atas Kawasan Konservasi Pesisir & Pulau Pulau Kecil
(KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan Konservasi Perairan (KKP),
dan Sempadan Pantai.
Jika dirinci
lebih detail, KKP3K terdiri dari Suaka Pesisir, Suaka Pulau Kecil, Taman
Pesisir, dan Taman Pulau Kecil. KKM
terdiri dari Perlindungan Adat Maritim dan Perlindungan Budaya Maritim. KKP terdiri dari Taman Nasional Perairan,
Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan.
Pembagian
kategori KKP mengacu pada PP 60/2007 tentang KSDI dan Permen No 2 Tahun 2009
tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Laut. Sementara kategori KKP3K mengacu pada Permen
No 17/2008 tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir & Pulau Pulau
Kecil. Khusus untuk sempadan pantai, hingga
saat ini belum ada peraturan baru yang dikeluarkan Kementerian, sehingga dasar
hukum yang digunakan masih Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang
pengelolaan kawasan lindung. Berdasarkan
Kepres tersebut, salah satu kawasan perlindungan setempat adalah sempadan
pantai.
- Peraturan dan Kebijakan Dibidang Kawasan Konservasi Perairan
Perkembangan
hukum dan kebijakan dalam bidang Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia
sangat terkait dengan keharusan atau komitmen bangsa untuk mengadopsi ketentuan
hukum internasional tentang konservasi kawasan. Selain itu, pemerintah juga mengadopsi
beberapa prinsip Standar Tingkah Laku Internasional (global) tanpa
mengesampingkan identitas bangsa dan ketentuan hukum dan kebijakan di
Indonesia. Dengan demikian, penyerasian proses hukum dan kebijakan secara
internasional dilakukan karena kewajiban dan tanggung jawab negara kepada dunia
global serta adopsi kode etik yang sesuai dan memungkinkan untuk dilakukan di
wilayah perairan Indonesia.
- Peraturan dan Kebijakan Internasional dan Regional
Pada tanggal
13 Desember tahun 1957, Indonesia menyatakan secara sepihak Wilayah Perairan
Nusantara yang disebut dengan Deklarasi Djuanda. Pada saat yang hampir sama,
dunia membahas kepentingan usaha penangkapan ikan dan konservasi sumber daya
ikan di lepas pantai. Hak Indonesia sebagai negara berdaulat atas wilayah
perairan akhirnya diterima pada tahun 1982. Namun pada saat yang sama, kita
juga harus bertanggung jawab untuk menyusun langkah-langkah nyata terkait
dengan konservasi sumber daya ikan di lepas pantai melalui konservasi di dalam Wilayah
Perairan Nasional. Secara berurutan ketentuan hukum, peraturan dan kebijakan
global yang mendorong berkembangnya Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia,
ialah sebagai berikut:
1) Convention on Fishing and
Conservation of the Living Resources of the High Seas 1958
2) United Nations Convention on
the Law of the Sea (UNCLOS), 1982;
3) Agenda 21 UNCED (United
Nations Convention on Environment and Development);
4) United Nations Convention on
Biological Diversity (UNCBD), 1992;
5) United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC), 1992;
6) Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF), 1995;
Ø Sedangkan
beberapa ketentuan regional yang terkait, antara lain ialah:
1) Coral Triangle Initiative
(CTI) on Coral Reefs, Fisheries and Food Security, 2007;
2) Arafura Timor Seas Expert
Forum (ATSEF).
- Analisis Hukum dan Kebijakan Internasional Tentang Kawasan Konservasi
Sejak tahun
1958, Indonesia mempunyai kewajiban dan mengemban tanggung jawab untuk menerapkan
prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dalam usaha
penangkapan ikan di wilayah perairan nasional Indonesia. Hal ini dimulai dari
peran serta pemerintah dalam konvensi Jenewa yang dilanjutkan dengan penanda
tanganan 3 (tiga) naskah konvensi ketika itu. Salah satu naskah konvensi ialah
tentang Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the
High Seas. Selain itu, pemerintah juga melakukan ratifikasi terhadap ketiga
naskah melalui UU No. 19 tahun 1961. Naskah konvensi mengharuskan setiap negara
pantai (coastal state) untuk melakukan langkah konservasi dan pengelolaan
berkelanjutan dalam operasi penangkapan ikan di wilayah perairan nasional
masing-masing negara. Namun pendekatan kawasan sebagai salah satu alat ukur
(tool) tidak disebutkan secara tertulis di dalam naskah konvensi – Naskah
konvensi Jenewa bisa dikatakan sebagai peraturan yang bersifat tidak langsung
dalam perkembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.
Indonesia
meratifikasi naskah UNCLOS melalui UU No. 17 tahun 1985. Secara strategis UNCLOS
merupakan pengakuan terhadap wilayah perairan laut dari setiap negara
berdaulat, termasuk Indonesia. Dengan demikian, Deklarasi Djuanda yang
diumumkan sepihak oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1957 mendapat pengakuan
formal setelah UNCLOS disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di dunia. Namun
pada saat yang sama, Indonesia juga dikenakan tanggung jawab untuk bekerja sama
dengan negara lain terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan.
Konservasi ialah pendekatan penting yang harus dilakukan oleh setiap negara
pantai (kata konservasi disebut 34 kali pada naskah konvensi). Namun kawasan
konservasi tidak disebutkan secara tertulis sehingga UNCLOS bisa dikatakan
sebagai peraturan global yang tidak langsung mempengaruhi kebijakan Kawasan
Konservasi Perairan di Indonesia. Indonesia ialah peserta konperensi UNCED
(United Nations Conference on Environment and Development) yang diadakan di Rio
de Jeneiro Brasil pada tahun 1992. Konperensi menghasilkan 40 konvensi, salah
satu diantaranya ialah tentang keanekaragaman hayati, United Nations Convention
on Biological Diversity (UNCBD). Peraturan global ini diratifikasi oleh
pemerintah melalui UU No. 5 tahun 1994 (Indonesia ialah negara ke-delapan yang
menyatakan mengadopsi UNCBD dan menanda tangani naskah tersebut di Brasil pada
tahun 1992). Naskah ini menyebutkan secara jelas tentang kawasan konservasi.
Naskah konvensi menyatakan bahwa konservasi keanekaragaman hayati harus dilakukan
dalam 3 (tiga) pendekatan, ialah: konservasi kawasan, konservasi spesies dan
konservasi genetik. Konservasi kawasan termasuk dalam kategori konservasi
in-situ.
Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dan Coral Triangle Initiative (CTI)
ialah dua jenis kebijakan yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia terkait
dengan Kawasan Konservasi Perairan. Indonesia tidak mempunyai kewajiban hukum
untuk memenuhi semua ketentuan yang tertuang dalam naskah CCRF dan CTI. Naskah
CCRF menyarankan setiap negara pantai untuk mengitegrasikan perencanaan
pengelolaan perikanan dengan rencana pengelolaan Wilayah Pesisir. Walaupun
tidak disebutkan secara tertulis, naskah CCRF mengandung inisiatif tentang
Kawasan Konservasi Perairan yang terintegrasi didalam pengelolaan wilayah
pesisir. Sedangkan CTI sudah secara tegas menyebutkan (tiga dari lima sasaran
CTI) pendekatan Kawasan Konservasi Perairan. Sebagai ringkasan, Indonesia
paling tidak telah mengadopsi 5 (lima) ketentuan internasional terkait dengan
pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, baik ketentuan yang
bersifat langsung maupun tidak langsung. Dari jumlah tersebut, 3 (tiga)
diantaranya ialah dalam bentuk hukum internasional yang mengikat Indonesia –
Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas
(1958), UNCLOS (1985) dan UNCBD (1992). UNCBD ialah satusatunya ketentuan
internasional yang mengatur tentang kawasan konservasi (termasuk Kawasan Konservasi
Perairan) dengan tujuan untuk perlindungan keanekaragaman hayati (biological diversity).
CCRF dan CTI ialah dua bentuk kebijakan yang tidak mengikat terkait dengan
pengelolaan kawasan konservasi. CCRF menyebutkan integrasi rencana pengelolaan
perikanan ke dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan CTI secara
tegas menyebutkan tentang pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan.
- Kebijakan dan Hukum Tentang Kawasan Konservasi di Indonesia
Tata urutan
(hierarchical structure) dari peraturan yang berlaku di Indonesia sudah sangat jelas,
dimulai dari:
• Undang-Undang Dasar 1945;
• Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR);
• Undang-Undang;
• Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
• Peraturan Pemerintah;
• Peraturan/Keputusan Presiden;
dan
• Peraturan Daerah.
Sesuai dengan
tata urutan peraturan perundang-undangan maka setiap aturan hukum yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Jenis
Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud di atas, diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan yang lebih tinggi Tata urutan peraturan terkait dengan Kawasan
Konservasi Perairan di Indonesia ialah sebagai berikut:
• Konstitusi/UUD 1945;
• Ketetapan MPR No. II/MPR/1993
tentang GBHN 1993 – 1998;
• Ketetapan MPR No. II/MPR/1998
tentang GBHN 1998 – 2003;
• UU No. 19 tahun 1961 tentang
Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa tahun 1958;
• UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
(diganti dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan);
• UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (diganti dengan UU No.
23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup);
• UU No. 5 tahun 1985 tentang
Perikanan;
• UU No. 17 tahun 1985 tentang
pengesahan UNCLOS;
• UU No. 5 tahun 1990 tentang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
• UU No. 24 tahun 1992 Penataan
Ruang;
• UU
No. 5 tahun 1994 tentang pengesahan UNCBD (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai keanekaragaman hayati);
• UU
No. 6 tahun 1994 tentang UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa
Bangsa mengenai Perubahan Iklim);
• UU No. 6 tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia;
• UU
No. 23 tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup (diganti dengan UU No. 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup);
• UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan;
• UU No. 31 tahun 2004 tentang
Perikanan;
• UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah;
• UU No. 21 tahun 2004 tentang
Pengesahan Protocol Cartagena;
• UU No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang;
• UU No. 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ;
• UU No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
• PP No. 68 Tahun 1998 tentang
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
• PP No. 60 tahun 2007 tentang
Konservasi Sumber daya Ikan;
• Keppres No. 32 Tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
• PerMen Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan
Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
•
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993
tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN 1993 - 1998), menyinggung aspek
konservasi kawasan melalui peran lingkungan hidup sebagai berikut:
• Pembangunan
lingkungan hidup yang merupakan bagian penting dari ekosistem yang berfungsi
sebagai penyangga kehidupan seluruh mahluk hidup di muka bumi diarahkan pada terwujudnya
kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pembangunan lingkungan hidup bertujuan meningkatkan
mutu, memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, merehabilitasi kerusakan
lingkungan, mengendalikan pencemaran dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
• Sumber daya
alam di darat, di laut maupun di udara dikelola dan dimanfaatkan dengan memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup agar dapat mengembangkan daya dukung dan
daya tampung lingkungan yang memadai untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik bagi generasi masa kini maupun bagi generasi masa
depan; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor
II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN 1998 – 2003), juga
menyinggung aspek konservasi kawasan melalui perannya dalam lingkungan hidup
melalui beberapa pernyataan, sebagai berikut:
• Pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk
menjaga dan meningkatkan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup agar
kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan pembangunan nasional serta usaha
pemanfaatan sumber daya alam termasuk air, tanah, dan udara berlangsung secara
berkelanjutan Konservasi ekosistem darat, laut, dan udara terus ditingkatkan
untuk melindungi fungsi ekosistem sebagai pendukung dan penyangga sistem
kehidupan
•
UU No. 27
tahun 2007, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-Undang
Nomor 27 tahun 2007 memperkenalkan istilah baru kawasan konservasi yang berlaku
untuk Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil . Konservasi Wilayah Pesisir dan
Pulau- Pulau Kecil didefinisikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan 336 Hukum dan kebijakan kawasan
konservasi perairan kesinambungan sumber daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya
(Pasal 1(19)). Sedangkan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah kawasan pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan ciri khas tertentu
yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil secara berkelanjutan (Pasal 1(20)). Pasal 28(4) menyatakan bahwa kawasan
konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditetapkan dengan Peraturan
Menteri. Setahun kemudian, Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan Peraturan
Menteri No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Pasal 4(1) dari Peraturan Menteri ini menyatakan bahwa
Kategori Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , terdiri dari:
• Kawasan Konservasi Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil , yang selanjutnya disebut KKP3K;
• Kawasan Konservasi Maritim,
yang selanjutnya disebut KKM;
• Kawasan Konservasi Perairan,
yang selanjutnya disebut KKP; dan
• Sempadan Pantai.
Selanjutnya,
Pasal 5 menyatakan bahwa jenis KKP3K terdiri dari kategori:
• Suaka pesisir;
• Suaka pulau kecil;
• Taman pesisir; dan
• Taman pulau kecil.
Pada tahun
2004, Pemerintah menetapkan UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Salah satu
pendekatan dalam pengelolaan perikanan ialah melalui Kawasan Konservasi
Perairan, KKP. Pengelolaan Kawasan Konservasi (perairan) pada UU No. 31 tahun
2004 lebih difokuskan pada perikanan yang berkelanjutan. Melalui UU No. 32
tahun 2004, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola wilayah
perairan laut di dalam wilayah yang menjadi jurisdiksi daerah. Pada Undang- Undang
ini, konservasi tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun kewenangan ini telah
dipergunakan untuk penunjukan atau penetapan kawasan konservasi dengan sebutan
Kawasan Konservasi Laut (KKL) Atau Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).
Undang-Undang No. 2004 juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menetapkan
Kawasan Konservasi Perairan dengan sebutan Daerah Perlindungan Laut (DPL).
Mereka menggunakan dasar hukum Peraturan Desa. Dari tinjauan hukum dan
peraturan tentang Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia, ada beberapa
pembelajaran yang bisa diambil, ialah sebagai berikut:
Kawasan
konservasi di wilayah perairan juga menggunakan istilah yang berbeda. UU No. 31
tahun 2004 menggunakan istilah Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Sedangkan UU
No. 27 tahun 2007 menggunakan istilah Konservasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil . Kategori kawasan dari kedua Undang-Undang ini juga berbeda,
sementara sangat memungkinkan keduanya berada pada wilayah yang saling tumpang
tindih. Kewenangan daerah dalam mengelola kawasan konservasi (khusus perairan)
ditetapkan melalui Undang-Undang yang berbeda dengan peraturan konservasi. Hal
ini bisa dilihat sebagai suatu kesempatan dan tanggung jawab, sehingga muncul
beberapa Kawasan Konservasi Perairan baru dengan sistem penamaan yang berbeda
dengan peraturan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar