Minggu, 28 April 2013

KONSERVASI LAUT WILAYAH PESISIR




istilah konservasi adalah kawasan tidak disebutkan karena naskah konstitusi pada umumnya hanya mengatur ketentuan pokok, sementara ketentuan lebih detail dibuat pada peraturan pelaksana yang lebih rendah.
Pengembangan kawasan konservasi di wilayah perairan laut merupakan amanat dari UU 31 Tahun 2004 yang diubah menjadi UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil.  UU 45/2009 Pasal 7 menyebutkan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan kawasan konservasi perairan. Sementara  UU 27/2007 Pasal 28 (2) menegaskan bahwa untuk kepentingan konservasi, sebagian wilayah pesisir dan pulau pulau kecil dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
  • Nomenklatur Kawasan Konservasi Laut
Sebelum dikeluarkannya UU 31/2004 Tentang Perikanan, penamaan yang sering digunakan adalah Kawasan Konservasi Laut atau disingkat KKL.  KKL yang dikembangkan oleh pemerintah daerah biasa di sebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).  Ada juga kawasan konservasi yang luasannya lebih kecil dan berada pada level desa yang disebut Daerah Perlindungan Laut (DPL).
Sejak dikeluarkan PP No 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (KSDI), yang merupakan turunan dari UU 31/2004 tentang Perikanan, nomenklatur resmi yang digunakan adalah Kawasan Konservasi Perairan yang disingkat KKP.  Namun demikian, terdapat istilah lain yang juga bisa digunakan sebagai nomenklatur kawasan konservasi laut sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) No 17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir & Pulau Pulau Kecil.  Berdasarkan Permen ini, kategori kawasan konservasi laut terdiri atas Kawasan Konservasi Pesisir & Pulau Pulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan Konservasi Perairan (KKP), dan Sempadan Pantai.
Jika dirinci lebih detail, KKP3K terdiri dari Suaka Pesisir, Suaka Pulau Kecil, Taman Pesisir, dan Taman Pulau Kecil.  KKM terdiri dari Perlindungan Adat Maritim dan Perlindungan Budaya Maritim.  KKP terdiri dari Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan.
Pembagian kategori KKP mengacu pada PP 60/2007 tentang KSDI dan Permen No 2 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Laut.  Sementara kategori KKP3K mengacu pada Permen No 17/2008 tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir & Pulau Pulau Kecil.  Khusus untuk sempadan pantai, hingga saat ini belum ada peraturan baru yang dikeluarkan Kementerian, sehingga dasar hukum yang digunakan masih Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung.  Berdasarkan Kepres tersebut, salah satu kawasan perlindungan setempat adalah sempadan pantai.


  • Peraturan dan Kebijakan Dibidang Kawasan Konservasi Perairan
Perkembangan hukum dan kebijakan dalam bidang Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia sangat terkait dengan keharusan atau komitmen bangsa untuk mengadopsi ketentuan hukum internasional tentang konservasi kawasan. Selain itu, pemerintah juga mengadopsi beberapa prinsip Standar Tingkah Laku Internasional (global) tanpa mengesampingkan identitas bangsa dan ketentuan hukum dan kebijakan di Indonesia. Dengan demikian, penyerasian proses hukum dan kebijakan secara internasional dilakukan karena kewajiban dan tanggung jawab negara kepada dunia global serta adopsi kode etik yang sesuai dan memungkinkan untuk dilakukan di wilayah perairan Indonesia.
  • Peraturan dan Kebijakan Internasional dan Regional
Pada tanggal 13 Desember tahun 1957, Indonesia menyatakan secara sepihak Wilayah Perairan Nusantara yang disebut dengan Deklarasi Djuanda. Pada saat yang hampir sama, dunia membahas kepentingan usaha penangkapan ikan dan konservasi sumber daya ikan di lepas pantai. Hak Indonesia sebagai negara berdaulat atas wilayah perairan akhirnya diterima pada tahun 1982. Namun pada saat yang sama, kita juga harus bertanggung jawab untuk menyusun langkah-langkah nyata terkait dengan konservasi sumber daya ikan di lepas pantai melalui konservasi di dalam Wilayah Perairan Nasional. Secara berurutan ketentuan hukum, peraturan dan kebijakan global yang mendorong berkembangnya Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, ialah sebagai berikut:
1) Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas 1958
2) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982;
3) Agenda 21 UNCED (United Nations Convention on Environment and Development);
4) United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), 1992;
5) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), 1992;
6) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), 1995;
Ø  Sedangkan beberapa ketentuan regional yang terkait, antara lain ialah:
1) Coral Triangle Initiative (CTI) on Coral Reefs, Fisheries and Food Security, 2007;
2) Arafura Timor Seas Expert Forum (ATSEF).






  • Analisis Hukum dan Kebijakan Internasional Tentang Kawasan Konservasi
Sejak tahun 1958, Indonesia mempunyai kewajiban dan mengemban tanggung jawab untuk menerapkan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dalam usaha penangkapan ikan di wilayah perairan nasional Indonesia. Hal ini dimulai dari peran serta pemerintah dalam konvensi Jenewa yang dilanjutkan dengan penanda tanganan 3 (tiga) naskah konvensi ketika itu. Salah satu naskah konvensi ialah tentang Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. Selain itu, pemerintah juga melakukan ratifikasi terhadap ketiga naskah melalui UU No. 19 tahun 1961. Naskah konvensi mengharuskan setiap negara pantai (coastal state) untuk melakukan langkah konservasi dan pengelolaan berkelanjutan dalam operasi penangkapan ikan di wilayah perairan nasional masing-masing negara. Namun pendekatan kawasan sebagai salah satu alat ukur (tool) tidak disebutkan secara tertulis di dalam naskah konvensi – Naskah konvensi Jenewa bisa dikatakan sebagai peraturan yang bersifat tidak langsung dalam perkembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.
Indonesia meratifikasi naskah UNCLOS melalui UU No. 17 tahun 1985. Secara strategis UNCLOS merupakan pengakuan terhadap wilayah perairan laut dari setiap negara berdaulat, termasuk Indonesia. Dengan demikian, Deklarasi Djuanda yang diumumkan sepihak oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1957 mendapat pengakuan formal setelah UNCLOS disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di dunia. Namun pada saat yang sama, Indonesia juga dikenakan tanggung jawab untuk bekerja sama dengan negara lain terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan. Konservasi ialah pendekatan penting yang harus dilakukan oleh setiap negara pantai (kata konservasi disebut 34 kali pada naskah konvensi). Namun kawasan konservasi tidak disebutkan secara tertulis sehingga UNCLOS bisa dikatakan sebagai peraturan global yang tidak langsung mempengaruhi kebijakan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Indonesia ialah peserta konperensi UNCED (United Nations Conference on Environment and Development) yang diadakan di Rio de Jeneiro Brasil pada tahun 1992. Konperensi menghasilkan 40 konvensi, salah satu diantaranya ialah tentang keanekaragaman hayati, United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD). Peraturan global ini diratifikasi oleh pemerintah melalui UU No. 5 tahun 1994 (Indonesia ialah negara ke-delapan yang menyatakan mengadopsi UNCBD dan menanda tangani naskah tersebut di Brasil pada tahun 1992). Naskah ini menyebutkan secara jelas tentang kawasan konservasi. Naskah konvensi menyatakan bahwa konservasi keanekaragaman hayati harus dilakukan dalam 3 (tiga) pendekatan, ialah: konservasi kawasan, konservasi spesies dan konservasi genetik. Konservasi kawasan termasuk dalam kategori konservasi in-situ.
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dan Coral Triangle Initiative (CTI) ialah dua jenis kebijakan yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan Kawasan Konservasi Perairan. Indonesia tidak mempunyai kewajiban hukum untuk memenuhi semua ketentuan yang tertuang dalam naskah CCRF dan CTI. Naskah CCRF menyarankan setiap negara pantai untuk mengitegrasikan perencanaan pengelolaan perikanan dengan rencana pengelolaan Wilayah Pesisir. Walaupun tidak disebutkan secara tertulis, naskah CCRF mengandung inisiatif tentang Kawasan Konservasi Perairan yang terintegrasi didalam pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan CTI sudah secara tegas menyebutkan (tiga dari lima sasaran CTI) pendekatan Kawasan Konservasi Perairan. Sebagai ringkasan, Indonesia paling tidak telah mengadopsi 5 (lima) ketentuan internasional terkait dengan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, baik ketentuan yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Dari jumlah tersebut, 3 (tiga) diantaranya ialah dalam bentuk hukum internasional yang mengikat Indonesia – Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas (1958), UNCLOS (1985) dan UNCBD (1992). UNCBD ialah satusatunya ketentuan internasional yang mengatur tentang kawasan konservasi (termasuk Kawasan Konservasi Perairan) dengan tujuan untuk perlindungan keanekaragaman hayati (biological diversity). CCRF dan CTI ialah dua bentuk kebijakan yang tidak mengikat terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi. CCRF menyebutkan integrasi rencana pengelolaan perikanan ke dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan CTI secara tegas menyebutkan tentang pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan.
  • Kebijakan dan Hukum Tentang Kawasan Konservasi di Indonesia
Tata urutan (hierarchical structure) dari peraturan yang berlaku di Indonesia sudah sangat jelas, dimulai dari:
• Undang-Undang Dasar 1945;
• Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
• Undang-Undang;
• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
• Peraturan Pemerintah;
• Peraturan/Keputusan Presiden; dan
• Peraturan Daerah.
Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud di atas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yang lebih tinggi Tata urutan peraturan terkait dengan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia ialah sebagai berikut:
• Konstitusi/UUD 1945;
• Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN 1993 – 1998;
• Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN 1998 – 2003;
• UU No. 19 tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa tahun 1958;
• UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (diganti dengan UU  No. 41  tahun 1999 tentang Kehutanan);
• UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup  (diganti dengan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup);
• UU No. 5 tahun 1985 tentang Perikanan;
• UU No. 17 tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS;
• UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
• UU No. 24 tahun 1992 Penataan Ruang;
UU No. 5 tahun 1994 tentang pengesahan UNCBD (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa  mengenai keanekaragaman hayati);
UU No. 6 tahun 1994 tentang UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa  mengenai Perubahan Iklim);
• UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
UU No. 23 tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup (diganti dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup);
• UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;
• UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan;
• UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
• UU No. 21 tahun 2004 tentang Pengesahan Protocol Cartagena;
• UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
• UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ;
• UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
• PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
• PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan;
• Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
• PerMen Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

        Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN 1993 - 1998), menyinggung aspek konservasi kawasan melalui peran lingkungan hidup sebagai berikut:
   Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian penting dari ekosistem yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan seluruh mahluk hidup di muka bumi diarahkan pada terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pembangunan lingkungan hidup bertujuan meningkatkan mutu, memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, merehabilitasi kerusakan lingkungan, mengendalikan pencemaran dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
   Sumber daya alam di darat, di laut maupun di udara dikelola dan dimanfaatkan dengan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup agar dapat mengembangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang memadai untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi masa kini maupun bagi generasi masa depan; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN 1998 – 2003), juga menyinggung aspek konservasi kawasan melalui perannya dalam lingkungan hidup melalui beberapa pernyataan, sebagai berikut:
• Pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk menjaga dan meningkatkan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup agar kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan pembangunan nasional serta usaha pemanfaatan sumber daya alam termasuk air, tanah, dan udara berlangsung secara berkelanjutan Konservasi ekosistem darat, laut, dan udara terus ditingkatkan untuk melindungi fungsi ekosistem sebagai pendukung dan penyangga sistem kehidupan

        UU No. 27 tahun 2007, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 memperkenalkan istilah baru kawasan konservasi yang berlaku untuk Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil . Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil didefinisikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan 336 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan kesinambungan sumber daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (Pasal 1(19)). Sedangkan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan (Pasal 1(20)). Pasal 28(4) menyatakan bahwa kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Setahun kemudian, Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan Peraturan Menteri No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 4(1) dari Peraturan Menteri ini menyatakan bahwa Kategori Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , terdiri dari:
• Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , yang selanjutnya disebut KKP3K;
• Kawasan Konservasi Maritim, yang selanjutnya disebut KKM;
• Kawasan Konservasi Perairan, yang selanjutnya disebut KKP; dan
• Sempadan Pantai.




Selanjutnya, Pasal 5 menyatakan bahwa jenis KKP3K terdiri dari kategori:
• Suaka pesisir;
• Suaka pulau kecil;
• Taman pesisir; dan
• Taman pulau kecil.
Pada tahun 2004, Pemerintah menetapkan UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Salah satu pendekatan dalam pengelolaan perikanan ialah melalui Kawasan Konservasi Perairan, KKP. Pengelolaan Kawasan Konservasi (perairan) pada UU No. 31 tahun 2004 lebih difokuskan pada perikanan yang berkelanjutan. Melalui UU No. 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola wilayah perairan laut di dalam wilayah yang menjadi jurisdiksi daerah. Pada Undang- Undang ini, konservasi tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun kewenangan ini telah dipergunakan untuk penunjukan atau penetapan kawasan konservasi dengan sebutan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Atau Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Undang-Undang No. 2004 juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menetapkan Kawasan Konservasi Perairan dengan sebutan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Mereka menggunakan dasar hukum Peraturan Desa. Dari tinjauan hukum dan peraturan tentang Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia, ada beberapa pembelajaran yang bisa diambil, ialah sebagai berikut:
Kawasan konservasi di wilayah perairan juga menggunakan istilah yang berbeda. UU No. 31 tahun 2004 menggunakan istilah Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Sedangkan UU No. 27 tahun 2007 menggunakan istilah Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil . Kategori kawasan dari kedua Undang-Undang ini juga berbeda, sementara sangat memungkinkan keduanya berada pada wilayah yang saling tumpang tindih. Kewenangan daerah dalam mengelola kawasan konservasi (khusus perairan) ditetapkan melalui Undang-Undang yang berbeda dengan peraturan konservasi. Hal ini bisa dilihat sebagai suatu kesempatan dan tanggung jawab, sehingga muncul beberapa Kawasan Konservasi Perairan baru dengan sistem penamaan yang berbeda dengan peraturan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar