PENGOLAHAN SUMBER DAYA IKAN INDONESIA
DISUSUN
OLEH :
T. Faizul Anhar
1111101010015
Koordinatorat Ilmu Kelautan Dan Perikanan
Universitas
Syiah Kuala Banda Aceh
Tahun
Ajaran 2011/2012
Banda Aceh
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi yang terjadi dibeberapa Negara, telah mendorong
meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu.Meningkatnya
permintaan ikan ini mengarah pada jumlah yang tidak terbatas, mengingat
kegiatan pembangunan yang merupakan factor pendoron dari permintaan ikan
berlangsung secara terus menerus. Sementara disisi lain, permintaan ikan
tersebut dipenuhi dari sumberdaya ikan yang jumlahnya di alam memang terbatas. kecendrungan meningkatnya permintaan ikan telah membuka peluang
berkembang pesatnya industri perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan
budidaya. Hanya sayangnya, perkembangan industri perikanan ini lebih
banyak dilandasi oleh pertimbangan teknologi dan ekonomi, dan sekaligus mengabaikan
pertimbangan lainnya seperti lingkungan, social budaya serta kelestarian
sumberdaya perikanan. Akibatnya, jaminan usaha perikanan yang
berkelanjutan menjadi tanda tanya, disamping upaya meningkatkan kesejahteraan
nelayan menjadi semakin jauh.
Bagi Indonesia, perikanan
mempunyai peranan yang cukup penting dalam pembangunan nasional. Hal ini
disebabkan karena adanya beberapa factor, diantaranya adalah :
Sekitar 2.274.629 orang nelayan dan 1.063.140 rumah tangga budidaya,
menggantungkan hidupnya dari kegiatan usaha perikanan.
Adanya sumbangan devisa yang jumlahnya cukup signifikan dan cendrung
meningkat dari tahun ketahun.
Mulai terpenuhinya kebutuhan sumber protein
hewani bagi sebagian masyarakat.
Terbukanya lapangan kerja bagi angkatan kerja
baru, sehingga diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran dan
Adanya potensi perikanan yang dimiliki Indonesia
Dalam kerangka pembangunan
nasional, maka peningkatan kontribusi perikanan harus diupayakan secara
berhati-hati, agar tidak menimbulkan dampak negative dimasa yang akan
datang. Disinilah peranan pengelolaan potensi perikanan menjadi sangat
strategis. Disisi lain, disadari juga bahwa pertumbuhan penduduk dunia dan
pertumbuhan ekonomi beberapa negara di dunia, telah mendorong meningkatnya
permintaan bahan makanan termasuk didalamnya ikan.Disamping itu, timbulnya
kesadaran masyarakat akan kesehatan telah menggeser pola makan masyarakat,
khususnya sumber protein hewani dari yang bersifat “red meal”
(sapi, babi dan sebagainya) ke “white meal” (ikan).Kondisi tersebut
diatas telah berimplikasi pada meningkatnya permintaan ikan dunia
2. SUMBERDAYA IKAN SEBAGAI
SUMBERDAYA ALAM
Sumberdaya alam (natural resources) pada
dasarnya mempunyai pengertian segala sesuatu yang berada dibawah atau diatas
bumi, termasuk tanah itu sendiri (Suparmoko, 1997). Dengan kata lain,
sumberdaya alam adalah sesuatu yang masih terdapat didalam maupun diluar bumi
yang sifatnya masih potensial dan belum dilibatkan dalam proses
produksi. Pengertian ini berbeda dengan barang sumberdaya (resources
commodity), karena merupakan sumberdaya alam yang sudah diambil dari dalam
atau atas bumi dan siap dipergunakan atau dikombinasikan dengan factor produksi
lainnya untuk menghasilkan produk baru yang dapat dimanfaatkan baik oleh
konsumen maupun produsen.
Sumberdaya alam mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu Negara (khususnya Negara
sedang berkembang), dimana semakin tinggi pertumbuhan ekonominya, akan
mengakibatkan persediaan sumberdaya alam yang tersedia akan semakin
berkurang. Hal ini karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan selalu
menuntut adanya barang sumberdaya dalam jumlah yang tinggi pula, dan barang
sumberdaya ini diambil dari persediaan sumberdaya alam yang ada. Dengan
demikian, terdapat hubungan yang “positif” antara jumlah barang sumberdaya
dengan pertumbuhan ekonomi, disamping juga hubungan yang “negative” antara
persediaan sumberdaya alam dengan pertumbuhan ekonomi.
Uraian diatas memberikan peringatan kepada kita bahwa
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, apabila dilakukan tidak secara
berhati-hati akan dapat mengguras persediaan sumberdaya alam yang
ada. Kondisi ini pada gilirannya nanti akan dapat menghambat pertumbuhan
ekonomi lebih lanjut. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam dalam
rangka pembangunan harus dilakukan secara bijaksana, dengan selalu
mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya.
Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang
bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih/dapat
memperbaharui diri. Disamping sifatrenewable, menurut Widodo
dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada umumnya mempunyai sifat“open
access” dan “common property” yang artinya
pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat
umum. Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi,
antara lain :
1) Tanpa
adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over
exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja
berlebihan (over employment).
2) Perlu
adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state property
rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh
swasta/perorangan (private property rights).
Dengan sifat-sifat sumberdaya
seperti diatas, menjadikan sumberdaya ikan bersifat unik, dan setiap orang
mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam batas-batas
kewenangan hukum suatu Negara. Pada hakekatnya masalah sumberdaya milik
bersama, berkaitan erat dengan persoalan-persoalan eksploitasi atau pemanfaatan
yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya pendapat masyarakat
yang mengatakan bahwa sumberdaya milik bersama adalah sumberdaya milik setiap
orang. Oleh karena itu, dapatkan sumberdaya tersebut selagi masih baik dan
mengapa kita harus menghematnya, sementara orang lain menghabiskannya. Kondisi
diatas mengakibatkan sumberdaya milik bersama seperti halnya sumberdaya ikan
adalah memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk
untuk mengambil manfaat. Selanjutnya, dengan adanya orang atau perusahaan
yang berdesakan karena mereka bebas masuk, maka akan terjadi interaksi yang
tidak menguntungkan dan secara kuantitatif berupa biaya tambahan yang harus
diderita oleh masing-masing orang atau perusahaan, sebagai akibat keadaan yang
berdesakan tersebut. Dengan demikian, secara prinsip sumberdaya milik
bersama yang dicirikan dengan pengambilan secara bebas maupun akibat-akibat
lain yang ditimbulkan seperti biaya eksternalitas (disekonomis) dan lain
sebagainya, akan menimbulkan kecendrungan pengelolaan secara deplesi.
Pengertian deplesi disini adalah
suatu cara pengambilan sumberdaya alam secara besar-besaran, yang biasanya
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan mentah. Dalam kaitannya
dengan sumberdaya perikanan yang sifatnya dapat diperbaharui, tindakan deplesi
walaupun dapat diimbangi dengan kegiatan konservasi akan tetap melekat
dampaknya terhadap lingkungan dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
memulihkannya.
Lebih lanjut, Nikijuluw (2002)
mengemukakan adanya 3 (tiga) sifat khusus yang dimiliki oleh sumberdaya yang
bersifat milik bersama tersebut. Ketiga sifat khusus tersebut adalah :
1) Ekskludabilitas
Sifat ini berkaitan dengan upaya
pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya. Upaya
pengendalian dan pengawasan ini menjadi sulit dan sangat mahal oleh
karena sifat phisik sumberdaya ikan yang dapat bergerak, disamping lautan
yang cukup luas.Dalam kaitan ini, orang akan dengan mudah memasuki area
perairan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada didalamnya, sementara
disisi lain otoritas menejemen sangat sulit untuk mengetahui serta memaksa
mereka untuk keluar.
2) Substraktabilitas
Substraktabilitas adalah suatu
situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat
dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain.Dalam kaitan ini, meskipun para
pengguna sumberdaya melakukan kerjasama dalam pengelolaan, akan tetapi kegiatan
seseorang didalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia akan selalu berpengaruh
secara negatif pada kemampuan orang lain didalam memanfaatkan sumberdaya yang
sama. Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan menimbulkan persaingan
yang dapat mengarah pada munculnya konflik antara rasionalitas individu dan
kolektif.
3) Indivisibilitas
Sifat ini pada hakekatnya
menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk
dibagi atau dipisahkan, walaupun secara adminstratif pembagian maupun pemisahan
ini dapat dilakukan oleh otoritas menejemen.
3. PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN
Pengelolaan sumberdaya ikan adalah
suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan
implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta
pencapaian tujuan pengelolaan (FAO, 1997).Sementara Widodo dan Nurhakim (2002)
mengemukakan bahwa secara umum, tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah
untuk :
1). Menjaga
kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan
perbaikan (enhancement).
2). Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan social para
nelayan serta
3). Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi
tersebut.
3.1. MODEL
PENGELOLAAN
Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan
pada konsep “hasil maksimum yang lestari” (Maximum Sustainable Yield)
atau juga disebut dengan “MSY”. Konsep MSY berangkat dari model
pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli Biologi bernama
Schaefer pada tahun 1957. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan
biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam
waktu yang panjang. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu
stok ikan yang dipengaruhi oleh 4 (empat) factor utama, yaitu rekrutment,
pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan. Pengelolaan
sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource
oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh
hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya
tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi
pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi
pada manusia (social oriented).
Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan
pendekatan “Maximum Sustainable Yield” telah mendapat tantangan
cukup keras, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian“yield” yang
maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya
masalah “diminishing return” yang menunjukkan bahwa
kenaikan “yield” akan berlangsung semakin lambat dengan adanya
penambahan “effort” (Lawson, 1984). Pemikiran dengan
memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan
pendekatan baru yang dikenal dengan “Maximum Economic Yield” atau
lebih popular dengan “MEY”.Pendekatan ini pada intinya adalah
mencari titik yield dan effort yang mampu menghasilkan selisih maksimum antara
total revenue dan total cost.
Selanjutnya, hasil kompromi dari
kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep “Optimum Sustainable
Yield” (OSY), sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham, Dunn dan
Whitmarsh (1985).Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep “MSY”,
sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, social, lingkungan dan
factor lainnya.Dengan demikian, besaran dari “OSY” adalah lebih
kecil dari “MSY” dan besaran dari konsep inilah yang kemudian dikenal
dengan “Total Allowable Catch”(TAC). Konsep pendekatan ini
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan “MSY”, diantaranya
adalah :
1). Berkurangnya resiko
terjadinya deplesi dari stok ikan
2). Jumlah tangkapan per unit
effort akan menjadi semakin besar
3). Fluktuasi TAC juga akan
menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu
Hasil pengkajian terakhir yang telah
dilakukan terhadap sumberdaya ikan Indonesia, menunjukan bahwa jumlah potensi
lestari adalah sebesar 6,409 juta ton ikan/tahun, dengan tingkat eksploitasi
pada tahun terakhir mencapai angka 4,069 juta ton ikan/tahun (63,49%). Dengan
demikian, masih ada cukup peluang untuk meningkatkan produksi perikanan
nasional. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa
zone penangkapan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah
melampaui potensi lestarinya (over fishing), yaitu di perairan Selat Malaka dan
perairan Laut Jawa. Akan tetapi di kedua perairan tersebut, terdapat
beberapa kelompok ikan (ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil di Selat
Malaka serta ikan demersal di Laut Jawa) yang masih mungkin untuk dikembangkan
eksploitasinya.
Sementara di 7 (tujuh) zone
penangkapan lainnya, sekalipun tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya secara
keseluruhan masih berada dibawah potensi lestari, akan tetapi untuk beberapa
kelompok ikan sudah berada pada posisi “over fishing”. Sebagai
contoh, udang dan lobster di perairan Laut Cina Selatan, ikan demersal; udang
dan cumi-cumi di perairan Selat Makasar dan Laut Flores. Oleh karena itu,
pada beberapa perairan yang kondisi pemanfaatan sumberdaya ikannya telah
mendekati dan atau melampaui potensi lestarinya, maka perlu kiranya mendapatkan
perlakuan khusus agar sumberdaya ikan yang ada tidak “collapse”. Informasi
yang berkaitan dengan potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan
Indonesia, telah dipublikasikan oleh “Komisi Nasional Pengkajian Stok
Sumberdaya Ikan Laut” pada tahun 1998. Dalam publikasi tersebut, wilayah
perairan Indonesia dibagi menjadi 9 (sembilan) zone, yaitu :
1) Selat Malaka
2) Laut Cina Selatan
3) Laut Jawa
4) Selatan Makasar dan Laut
Flores
5) Laut Banda
6) Laut Seram dan Teluk Tomini
7) Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik
8) Laut Arafura
9) Samudra Hindia
Sementara dalam menentukan stok sumberdaya ikan di
perairan Indonesia, dipergunakan beberapa metoda sesuai dengan jenis dan sifat
sumberdaya ikan
Dalam kaitan ini terdapat beberapa
pendekatan yang dapat dilakukan didalam mengelola sumberdaya perikanan, agar
tujuan pengelolaan dapat tercapai.Pendekatan dimaksud sebagaimana dikemukakan
oleh Gulland dalam Widodo dan Nurhudah (1985) adalah sebagai
berikut :
1). Pembatasan alat tangkap
2). Penutupan daerah
penangkapan ikan
3). Penutupan musim penangkapan
ikan
4). Pemberlakuan kuota
penangkapan ikan
5). Pembatasan ukuran ikan yang
menjadi sasaran
6). Penetapan jumlah hasil
tangkapan setiap kapal
3.2. PERANAN PEMERINTAH DALAM
PENGELOLAAN
Dalam pelaksanaanya di Indonesia,
pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengelola sumberdaya
ikan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 33) maupun
Undang-Undang Perikanan No. 9 tahun 1985, yang intinya memberikan mandat kepada
pemerintah didalam mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan
rakyat. Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan ini,
menurut (Nikijuluw, 2002) diwujudkan dalam 3 (tiga fungsi), yaitu :
1). Fungsi
Alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan
2). Fungsi
Distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran
sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping
adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah.
3). Fungsi
Stabilisasi, ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak
berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan
tatanan social ekonomi masyarakat.
Didalam menjalankan fungsi-fungsi
diatas, maka kiranya pemerintah perlu mempertimbangkan cara pandang teleologik
sebagaimana diungkapkan oleh Hull dalam Nasoetion (1999),
yaitu dengan selalu melihat tujuan atau akibat dari suatu tindakan.Dengan
demikian, dalam etika teleologi suatu tindakan dinilai baik apabila tindakan
tersebut mempunyai tujuan baik dan mendatangkan akibat yang baik pula (Keraf,
2002). Etika teleology sendiri dikelompokkan menjadi 2 (dua), dimana salah
satunya adalah utilitarianisme yang banyak dipergunakan
sebagai pegangan didalam menilai sebuah kebijakan yang bersifat public.
Selanjutnya (Keraf, 2002) juga mengemukakan terdapat 3 (tiga) kriteria yang
dipergunakan dalam teori utilitarianisme sebagai dasar tujuannya, yaitu :
1). Manfaat, yaitu
kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat tertentu.
2). Manfaat
terbesar, yaitu kebijakan atau tindakan tersebut mendatangkan manfaat
lebih besar atau terbesar bila dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan
alternatif lain. Dalam kaitan ini, apabila semua alternatif yang ada
ternyata sama-sama mendatangkan kerugian, maka tindakan atau kebijakan yang
baik adalah yang mendatangkan kerugian terkecil.
3). Manfaat
terbesar bagi sebanyak mungkin orang,artinya suatu kebijakan atau tindakan
dinilai baik apabila manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak
orang. Semakin banyak orang yang menikmati akibat baik tadi, maka semakin
baik kebijakan atau tindakan tersebut.
Di Indonesia pada dasarnya
pengelolaan perikanan lebih berkaitan dengan masalah manusia (people problem)
dari pada masalah sumberdaya (resources problem). Hal ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa lebih dari 60% produksi perikanan Indonesia dihasilkan oleh
perikanan skala kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja yang dikenal dengan
nelayan.Kaiser dan Forsberg (2001) memberikan beberapa hal yang harus
diperhatikan didalam pengelolaan perikanan, yaitu :
1). Jumlah stakeholder
perikanan adalah banyak
2). Kebijakan pengelolaan harus
dapat diterima oleh semua stakeholder
3). Hormati sebanyak mungkin
nilai-nilai yang berkembang di masyarakat
4). Kebijakan harus
mempertimbangkan aspek social, politik dan ekonomi
Cara pandang pengelolaan sumberdaya
perikanan seperti ini pada hakekatnya telah dipahami oleh sebagian besar
masyarakat perikanan Indonesia. Hanya saja, pada saat ini sebagian
besar daerah di Indonesia pengelolaan sumberdaya perikanan lautnya masih
berbasis pada pemerintah pusat (Government Based Management). Dalam pengelolaan
seperti ini, pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari perencanaan,
pelaksanaan sampai pada pengawasan.Sedangkan kelompok masyarakat pengguna hanya
menerima informasi tentang produk-produk kebijakan dari pemerintah.Menurut
Satria dkk, (2002), pengelolaan perikanan seperti ini mempunyai
beberapa kelemahan diantaranya adalah :
1). Aturan-aturan
yang dibuat menjadi kurang terinternalisasi didalam masyarakat, sehingga
menjadi sulit untuk ditegakan.
2). Biaya
transaksi yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan adalah sangat
besar, sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum.
Daftar Pustaka
Food
and Agricultural Organization, 1997. Fisheries Management. FAO
Technical Guidelines for Responsible Fisheries, No. 4 82p. Rome.
Cunningham.
S, M.R. Dunn and D. Whitmarsh, Fisheries Economics. An
Introduction. Mansell Publishing Limited. London.
Dahuri,
R, 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui
Sektor Perikanan dan Kelautan. Lembaga
Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia. Jakarta.
Keraf, A.S, 2002. Etika
Lingkungan. Penerbit Buku Kompas.Jakarta.
Komisi
Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, 1998. Potensi dan
Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. LIPI.Jakarta.
Lawson.
R.M, 1984. Economics of Fisheries Development.Fraces Pinter
(Publisher). London.
Nasoetion,
A.H, 1999. Pengantar Ke Filsafat Sains. PT. Pusaka
Litera Antar Nusa. Bogor.
Suparmoko, M, 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam
dan Lingkungan. (Suatu Pendekatan Teoritis).Ed.2. BPFE. Yogyakarta.
Widodo,
J dan M. Nurhudah, 1995. Pengelolaan Sumberdaya Ikan. Sekolah
Tinggi Perikanan.Jakarta.
Widodo, J dan S. Nurhakim,
2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Disampaikan
dalam Training of Trainers on Fisheries Resource Management. 28 Oktober
s/d 2 November 2002. Hotel Golden Clarion. Jakarta.
terima kasih artikel nya ...
BalasHapus